Sosial Media
0
News
    Home Berita Imajinasi Opini POLITIK Sport

    Beda Kisah, Satu Masalah Bapak Jokowi dan Bapak Asrul Sani

    2 min read

    Penulis:Ashabulqolam
    Editor :M.Ridwan Habibie A.
    Fotografer: Dokumentasi
    Sumber Data: Wikipedia, Detik, Kompas, Suara, RMOL
    Tanggal: 25 November 2025
    www.tintadigitalnews.comPolemik mengenai keaslian ijazah kembali mengemuka dan menyeret dua tokoh besar:Presiden ke-7 RI Joko Widodo dan Hakim Mahkamah Konstitusi Dr. H. Arsul Sani, S.H., M.Si. Meski sekilas tampak serupa, dinamika respons, bukti akademik, dan implikasi politik keduanya menunjukkan kontras yang signifikan.

    Jokowi menempuh pendidikan di Fakultas Kehutanan UGM. Tudingan “ijazah palsu” kembali muncul tahun 2025. Sementara Arsul Sani tercatat meraih gelar doktor dari Collegium Humanum – Warsaw Management University, Polandia, dan kini menghadapi tuduhan serupa yang langsung menyentuh legitimasi jabatan konstitusionalnya.

    “Kasus Jokowi dan Arsul tampak serupa, namun berbeda secara fundamental: satu menghadapi isu simbol legitimasi politik, satunya menyangkut syarat jabatan konstitusi yang wajib dibuktikan secara akademik.”

    Dalam polemik ini, Jokowi lebih memilih jalur hukum. Timnya melaporkan pelapor dan menyerahkan validasi kepada Bareskrim. Adapun Arsul mengambil langkah sebaliknya: membuka ijazah asli, transkrip, disertasi, hingga foto wisuda, bahkan menuturkan bahwa dirinya tidak akan melaporkan balik pelapor.

    Perbedaan gaya respons ini memunculkan interpretasi publik: sebagian menilai keterbukaan Arsul sebagai standar baru transparansi pejabat publik, sementara sikap defensif Jokowi disebut hanya menyelesaikan masalah dari aspek legal, bukan kepercayaan publik.

    “Arsul menunjukkan pendekatan akademik dan terbuka; Jokowi memilih jalur legalistik. Dua strategi berbeda, dua pesan politik yang berbeda pula.”

    Sejumlah pengamat menyoroti bahwa ijazah Presiden menjadi simbol legitimasi moral, sedangkan ijazah Hakim MK merupakan syarat hukum yang menentukan sah atau tidaknya jabatan tersebut. Karena itulah, pembuktian Arsul bersifat wajib, sedangkan pembuktian Jokowi lebih berada di ranah etika publik.

    Pada akhirnya, opini publik bergeser pada satu titik penting: transparansi. Publik menuntut pejabat tinggi negara untuk lebih terbuka, bukan sekadar sah secara administratif. Transparansi menjadi kebutuhan baru dalam demokrasi modern.

    Artikel ini disusun berdasarkan data terbuka dari Wikipedia, Detikcom, Kompas, Suara.com, dan RMOL (2023–2025).
    Komentar
    Additional JS