Beda Kisah, Satu Masalah Bapak Jokowi dan Bapak Asrul Sani
www.tintadigitalnews.comPolemik mengenai keaslian ijazah kembali mengemuka dan menyeret dua tokoh besar:Presiden ke-7 RI Joko Widodo dan Hakim Mahkamah Konstitusi Dr. H. Arsul Sani, S.H., M.Si. Meski sekilas tampak serupa, dinamika respons, bukti akademik, dan implikasi politik keduanya menunjukkan kontras yang signifikan.
Jokowi menempuh pendidikan di Fakultas Kehutanan UGM. Tudingan “ijazah palsu” kembali muncul tahun 2025. Sementara Arsul Sani tercatat meraih gelar doktor dari Collegium Humanum – Warsaw Management University, Polandia, dan kini menghadapi tuduhan serupa yang langsung menyentuh legitimasi jabatan konstitusionalnya.
Dalam polemik ini, Jokowi lebih memilih jalur hukum. Timnya melaporkan pelapor dan menyerahkan validasi kepada Bareskrim. Adapun Arsul mengambil langkah sebaliknya: membuka ijazah asli, transkrip, disertasi, hingga foto wisuda, bahkan menuturkan bahwa dirinya tidak akan melaporkan balik pelapor.
Perbedaan gaya respons ini memunculkan interpretasi publik: sebagian menilai keterbukaan Arsul sebagai standar baru transparansi pejabat publik, sementara sikap defensif Jokowi disebut hanya menyelesaikan masalah dari aspek legal, bukan kepercayaan publik.
Sejumlah pengamat menyoroti bahwa ijazah Presiden menjadi simbol legitimasi moral, sedangkan ijazah Hakim MK merupakan syarat hukum yang menentukan sah atau tidaknya jabatan tersebut. Karena itulah, pembuktian Arsul bersifat wajib, sedangkan pembuktian Jokowi lebih berada di ranah etika publik.
Pada akhirnya, opini publik bergeser pada satu titik penting: transparansi. Publik menuntut pejabat tinggi negara untuk lebih terbuka, bukan sekadar sah secara administratif. Transparansi menjadi kebutuhan baru dalam demokrasi modern.